Barbar
Summary by:NasrulAzwar
Tubuh Saddam Hussein terayun ke bawah dan lehernya
langsung tercekik tali gantungan—dan kita melihatnya di sebuah rekaman
video yang melukiskan kembali saat dramatis itu, dan kita mungkin
berbisik: seorang diktator mati di sebuah ruang pengap, sebuah
demokrasi lahir.
Tapi apa sebenarnya yang bisa kita katakan tentang demokrasi?
Di Eropa dan Amerika, orang-orang yang beradab merasa ngeri dan mual
dan berkata: ”Ah, barbarisme negeri Arab!” dan mereka lupa bahwa
demokrasi yang mereka kenal juga dimulai dengan sebuah pertunjukan
leher raja yang putus.Di sana bisa kita lihat bagaimana kepala Raja Louis
XVI yang berlumuran darah tercengkeram di tangan algojonya, setelah
dipungut dari dasar guillotine, untuk dipertontonkan ke khalayak ramai
yang hadir di lapangan eksekusi itu.
Pada saat seperti itu, kepala sang raja tampak bersih, tak suci, tak
berpengaruh, juga kepala Saddam Hussein di atas tulang leher yang
patah. Kekuasaan, betapapun besarnya, tak bisa memberi dirinya sendiri
garansi untuk tak tersentuh najis dan terancam kejatuhan.Maka lahir pikiran-pikiran politik yang tajam, media
massa yang tak terkekang, pasar yang sibuk, ekspresi yang bebas di
pelbagai lapangan hidup. Risalah ilmiah,
laporan jurnalistik, karya sastra yang menyampaikan kesunyian atau
protes, ilmu yang menemu-ciptakan hal baru dan menangkis pengetahuan
lama—semua itu bermula dari kesadaran, mungkin juga keresahan, bahwa
sang penghulu hanya mampir dan sang penentu akan selalu dipenggal.Bukankah kemajuan yang menakjubkan di Eropa di bawah
kapitalisme sebenarnya mengandung sesuatu yang merisaukan—yakni
pengisapan kaum buruh—seperti halnya megahnya piramida para Firaun
dibangun dengan modal penderitaan para budak di tanah Mesir?
Kebudayaan yang menyembunyikan apa yang tak beradab dalam
dirinya—dengan tampil sebagai scene yang tak mengakui diri juga sebagai
ob-scene—pada akhirnya memberikan peluang bagi kebiadaban baru.
Kebiadaban baru itulah yang antara lain dilakukan kekuasaan Nazi di
Jerman.Tapi sebagaimana orang Yunani pada masa silam membuat
kategori ”barbar” bagi siapa saja yang tak datang dari kalangan
mereka—sebagai usaha menegakkan dan meneguhkan identitas ”Yunani”—di
Jerman penguasa Nazi melahirkan ide tentang makhluk yang ”bukan-Arya”
untuk menggariskan dan menegaskan sifat ”Arya” dalam bangsa Jerman.
Seperti halnya Herodotus menggambarkan orang-orang ”barbar” sebagai
manusia yang ”tak dapat berpikir rasional”, yang dikuasai ”syaitan” dan
”tak mampu hidup menurut hukum yang tertulis dan hanya secara setengah
hati membiarkan raja mereka berkuasa”, juga Hitler menganggap orang
Yahudi dan Slavia dan Gitana sebagai kotoran yang perlu dibasmi.
Beberapa saat sebelum Saddam menjalani hukuman
mati—dengan sikap yang tampak berani—sebuah bisik terdengar di antara
yang hadir di ruang sempit itu: ”Moktada, Moktada….” Nama pemimpin kaum
Syiah itu disebut, seperti untuk mengingatkan Saddam sesaat sebelum ia
tercekik mati: hari itu orang Syiah ingin menegaskan ingatan bahwa
Saddam pernah melakukan kejahatan besar kepada mereka.
Tanpa manajemen pembalasan itu, satu nyawa yang hilang akan bisa
dibalas dengan mencabut 1.000 nyawa—praktis tanpa batas yang pasti.
Kini satu nyawa tercabut—leher Saddam Hussein tercekik tali
gantungan—tapi setimpalkah hukuman itu?
Mustahil untuk menjawabnya. Kebiadaban ada di mana-mana dan tak bisa
dibandingkan. Kita pun akhirnya tahu, ada yang tak pasti dan tak
semena-mena di balik tiap penegakan hukum. Ada barbarisme di tiap
kehendak ”keadilan”. Ada kebutuhan untuk mengakui bahwa lembaga-lembaga
peradaban, termasuk mahkamah agung sekalipun, selalu daif, selalu
berdosa.
Barbar Originally published in Shvoong: http://id.shvoong.com/social-sciences/1769344-barbar/
Summary by:NasrulAzwar
Tubuh Saddam Hussein terayun ke bawah dan lehernya
langsung tercekik tali gantungan—dan kita melihatnya di sebuah rekaman
video yang melukiskan kembali saat dramatis itu, dan kita mungkin
berbisik: seorang diktator mati di sebuah ruang pengap, sebuah
demokrasi lahir.
Tapi apa sebenarnya yang bisa kita katakan tentang demokrasi?
Di Eropa dan Amerika, orang-orang yang beradab merasa ngeri dan mual
dan berkata: ”Ah, barbarisme negeri Arab!” dan mereka lupa bahwa
demokrasi yang mereka kenal juga dimulai dengan sebuah pertunjukan
leher raja yang putus.Di sana bisa kita lihat bagaimana kepala Raja Louis
XVI yang berlumuran darah tercengkeram di tangan algojonya, setelah
dipungut dari dasar guillotine, untuk dipertontonkan ke khalayak ramai
yang hadir di lapangan eksekusi itu.
Pada saat seperti itu, kepala sang raja tampak bersih, tak suci, tak
berpengaruh, juga kepala Saddam Hussein di atas tulang leher yang
patah. Kekuasaan, betapapun besarnya, tak bisa memberi dirinya sendiri
garansi untuk tak tersentuh najis dan terancam kejatuhan.Maka lahir pikiran-pikiran politik yang tajam, media
massa yang tak terkekang, pasar yang sibuk, ekspresi yang bebas di
pelbagai lapangan hidup. Risalah ilmiah,
laporan jurnalistik, karya sastra yang menyampaikan kesunyian atau
protes, ilmu yang menemu-ciptakan hal baru dan menangkis pengetahuan
lama—semua itu bermula dari kesadaran, mungkin juga keresahan, bahwa
sang penghulu hanya mampir dan sang penentu akan selalu dipenggal.Bukankah kemajuan yang menakjubkan di Eropa di bawah
kapitalisme sebenarnya mengandung sesuatu yang merisaukan—yakni
pengisapan kaum buruh—seperti halnya megahnya piramida para Firaun
dibangun dengan modal penderitaan para budak di tanah Mesir?
Kebudayaan yang menyembunyikan apa yang tak beradab dalam
dirinya—dengan tampil sebagai scene yang tak mengakui diri juga sebagai
ob-scene—pada akhirnya memberikan peluang bagi kebiadaban baru.
Kebiadaban baru itulah yang antara lain dilakukan kekuasaan Nazi di
Jerman.Tapi sebagaimana orang Yunani pada masa silam membuat
kategori ”barbar” bagi siapa saja yang tak datang dari kalangan
mereka—sebagai usaha menegakkan dan meneguhkan identitas ”Yunani”—di
Jerman penguasa Nazi melahirkan ide tentang makhluk yang ”bukan-Arya”
untuk menggariskan dan menegaskan sifat ”Arya” dalam bangsa Jerman.
Seperti halnya Herodotus menggambarkan orang-orang ”barbar” sebagai
manusia yang ”tak dapat berpikir rasional”, yang dikuasai ”syaitan” dan
”tak mampu hidup menurut hukum yang tertulis dan hanya secara setengah
hati membiarkan raja mereka berkuasa”, juga Hitler menganggap orang
Yahudi dan Slavia dan Gitana sebagai kotoran yang perlu dibasmi.
Beberapa saat sebelum Saddam menjalani hukuman
mati—dengan sikap yang tampak berani—sebuah bisik terdengar di antara
yang hadir di ruang sempit itu: ”Moktada, Moktada….” Nama pemimpin kaum
Syiah itu disebut, seperti untuk mengingatkan Saddam sesaat sebelum ia
tercekik mati: hari itu orang Syiah ingin menegaskan ingatan bahwa
Saddam pernah melakukan kejahatan besar kepada mereka.
Tanpa manajemen pembalasan itu, satu nyawa yang hilang akan bisa
dibalas dengan mencabut 1.000 nyawa—praktis tanpa batas yang pasti.
Kini satu nyawa tercabut—leher Saddam Hussein tercekik tali
gantungan—tapi setimpalkah hukuman itu?
Mustahil untuk menjawabnya. Kebiadaban ada di mana-mana dan tak bisa
dibandingkan. Kita pun akhirnya tahu, ada yang tak pasti dan tak
semena-mena di balik tiap penegakan hukum. Ada barbarisme di tiap
kehendak ”keadilan”. Ada kebutuhan untuk mengakui bahwa lembaga-lembaga
peradaban, termasuk mahkamah agung sekalipun, selalu daif, selalu
berdosa.
Barbar Originally published in Shvoong: http://id.shvoong.com/social-sciences/1769344-barbar/
0 comments:
Post a Comment